Ganti Edjaan Lama

balik ke Edjaan Lama

Monday, January 17, 2005

JANGAN MENANGIS LAGI, ACEHKU!

Apa lagi yang bisa dituliskan tentang negeri indah yang kini poranda di terjang bencana ini?
Terlalu banyak duka di sini
Terlalo banyak air mata
Terlalu banyak mayat-mayat korban yang bergelimpangan
Terkapar membusuk di puing-puing runtuhan bangunan.
Terlalu banyak anak-anak yatim-piatu
Terlalu banyak!
Sementara terlampau sedikit yang bisa kita bikin untuk mereka!


Januari hari ke dua...
Pesawat Merpati yang disewa BUMN Peduli menerbangkan saya di atas langit Aceh yang gulita.
Tak banyak kerlip lampu dibawah sana.
Sungguh kontras dengan Jakarta yang 6 jam lalu kita tinggalkan
Negeri ini sekarat diterjang Tsunami.
Dan ketika pesawat menjejakkan rodanya di Bandara.
Tak ada aktifitas khas bandara. Yang biasanya memanjakan kita.
Bandara ini masih utuh saja sudah untung.

Saya dan ketiga teman pun bergegas memanggul ransel.
Mengurusi obat-obatan dan peralatan medis yang kita bawa. Tapi mesti tidur di apron bandara. Karena menurut teman yang lebih dulu masuk, jalur Blangbintang-Banda Aceh tak aman di malam hari.
Padahal waktu kita sampai saja sudah jam 12 tengah malam.
Malam pertama di Aceh pun dihabiskan dengan memandangi langit. Dalam pelukan hangat sleeping bag. Sambil berpikir apa yang bisa kita perbuat besok.

Esoknya, dalam perjalanan ke Banda Aceh, baru kita lihat betapa luluhlantaknya kota ini. Kuburan massal yang masih menebarkan bau bangkai di Lambaro. Tubuh-tubuh telanjang tak bernyawa di jalan-jalan dan sungai. Pante Pirak - bangunan pertama yang runtuh diguncang gempa. Masjid Raya yang dipenuhi sampah lumpur dan mayat. Rumah toko tiga lantai yang lantai satunya amblas ke tanah. Debu beterbangan bercampur dengan air mata haru yang mengalir tak tertahan.



Hasil musyawarah dengan teman-teman di RS. Kesdam, saya dan rombongan diminta ke Pulau Nasi, tak jauh dari Sabang. Perjalanan dengan perahu memakan waktu satu setengah jam dari Peunayong. Melewati Pasar Aceh yang terlihat seperti ground zero bekas ledakan bom. Ada dua perahu kayu yang hanyut dibawa gelombang hingga ke daerah pasar. Bangunan-bangunan runtuh, sebagian rata dengan tanah. Mayat-mayat lagi-lagi bertebaran. Sebagian sudah dalam body bag. Tapi masih menebarkan aroma khasnya.
Tentang mayat-mayat ini, bekas boss dan guru saya, Prof. Aryono Djuned Pusponegoro, ketika bersua di Kesdam punya komentar tersendiri:
"Gua udah kemana-mana, di hampir semua bencana di belahan dunia, tapi hanya disini gua liat begitu banyak mayat!"
Sampai di sungai Aceh, yang kita susuri, masih banyak tubuh-tubuh membusuk itu dijumpai.



Keluar ke laut, tak ada mayat lagi. Tapi kapal kayu kecil itu mulai menari dipermainkan ombak. Awalnya perlahan, makin ketengah makin besar. Ombak-ombak setinggi 1-1,5 meter bergantian menerpa.

Dulu, hampir setiap 2 minggu saya pasti melintas selat Makassar. Dari Rig ke Balikpapan atau sebaliknya. Tapi kini suasananya lain. Ombaknya lebih besar, tak ada life yacket dan satu-satunya benda yang bisa dipakai untuk mengapung hanyalah sebuah ban mobil yang terikat kuat di atap perahu. Satu ban itu saja, untuk sekita 30-an penumpang perahu.

Tapi awalnya saya tenang-tenang saja. Juga ketika perahu makin kuat bergoyang. Mungkin memang biasa begini. Itu saja yang terpikir. Tapi sewaktu beberapa penumpang warga pulau mulai menangis. Sebagian mulai syahadat. Baru sadar kalau ini bukan kondisi biasa. Syukurlah akhirnya kita selamat sampai di Pulau Nasi.

Pulau Nasi kecil, kelilingnya sekitar 25 kilometer. Dulu bekas daerah persembunyian GAM tapi sekarang sudah 'bersih'. Cerita Danramil setempat. Ada 5 Desa disana. Penduduknya sekitar 1500 jiwa. Setelah Tsunami, 2 desa habis. Sebagian penduduk sudah mengungsi ke Banda Aceh. Kini yang tersisa hanya sekitar 500 warga.
(bersambung)

foto-foto diambil dari www.plan-uk.org

No comments: