Ganti Edjaan Lama

balik ke Edjaan Lama

Thursday, September 30, 2004

MENGEJAR PURNAMA DI 3 KOTA

Blue Moon,yang konon menurut si Ms. Nice Gal ini adalah penampakan bulan purnama dalam bentuk yang paling indah dan hanya terjadi sekali dalam setahun, bikin perjalanan pulang dari rig akhirnya saya habiskan dengan menengadah sampe leher terasa kaku.

Tanggal 28 malam saya mulai proyek melototin purnama, diatas speed boat yang membawa saya melaju membelah selat Makassar menuju Balikpapan. Sayang sesaput tipis awan sedikit mengusik keindahannya.

Langit diatas bandara Sepinggan, Balikpapan pun tak jua memberi kesempatan buat saya menikmati si Blue Moon itu, awan masih setia bergayut. Kali ini saya hanya bisa berharap semoga dalam penerbangan malam ke Surabaia bisa melihat bulan dibalik jendela. Harapan yang ternyata sia-sia karena sepanjang penerbangan, bapak disebelah saya mengajak ngobrol terus. Dan semangatnya bercerita bikin saya gak tega untuk bilang kalo saya lagi pengen liat purnama dan minta tukeran tempat duduk sama dia.

Terkurung 1 jam di bandara Juanda tidak juga bikin impian saya terkabul. Dan saat penerbangan Surabaya-Makassar, saya terlalu lelah dan tertidur ketika pesawat mengangkasa. Hasrat melihat Blue Moon gagal total.

Baru di Jeneponto, kota kecil tempat kelahiran almarhum bapak saya - sekitar 3 jam perjalanan jaraknya dari Makassar - baru saya bisa menatap langit malam sepuasnya. Langit bersih tak berawan malam itu. Ada bulatan kuning besar bercahaya yang indah menghiasinya. Purnama Blue Moon yang kesohor itu! Mungkin bukan Blue Moon, karena saat itu sudah tanggal 29 malam. Tapi setidaknya keindahannya masih terasa. Kemilau bintang yang biasanya memukau pun tak sanggup menandinginya.

Saya berbaring menghabiskan malam itu di beranda. Tak peduli dengan dengung nyamuk yang berpesta pora menikmati tetes demi tetes darah saya. Tak juga peduli dengan informasi yang saya baca belakangan kalo Blue Moon itu adanya ditanggal 31 Yuli 2004.

Malam itu saya hanya ingin berbaring di beranda. Merenung. Sendiri. Terpencil. Dipeluk sepi. Dibawah sinar bulan purnama. Yang tetap indah dilihat, tak peduli itu blue moon atau tidak.

catatan kaki:
28 september 2004 ternyata menurut penanggalan Cina adalah hari ke 15 di bulan ke-8, saat untuk mid-autumn festival atau juga disebut sebagai Moon Festival (yue bing yie). Suatu masa dimana bulan purnama berada dalam bentuk yang paling bulat dan paling terang karena itu dipercaya sebagai perlambang kesatuan dan kebersamaan keluarga.

Sunday, September 19, 2004

KAPANKAH TERAKHIR KALI ANDA MENERIMA SURAT PRIBADI?

"KAPANKAH terakhir kali Anda menerima surat pribadi? Prof Dr Sarlito Wirawan Sarwono, psikolog terkenal dari Universitas Indonesia, mengaku beberapa waktu lalu menerima surat bertuliskan tangan dari seorang kerabatnya di Cilacap, Jawa Tengah. "Sangat personal, saya jarang sekali lho dapat surat seperti itu sekarang," katanya. Kini, kesantunan dan kedalaman surat memang telah digantikan dengan keserentakan (dan kegegabahan) serta kedangkalan SMS (short message service). Padahal, sebenarnya tak ada yang bisa menyaingi dahsyatnya surat sebagai kenangan" (sumber Kompas, Minggu 19 September 2004)

Sebagian orang memang sudah lama tak lagi berkirim atau menerima surat yang bertuliskan tangan model dulu.
Globalisasi dengan kemajuan teknologinya telah membuat orang jadi mau semuanya serba cepat. Kenapa harus repot menulis surat, setelah itu pergi ke kantor pos, antri untuk bisa mengirim surat yang mungkin baru akan sampai tiga hari setelahnya, padahal dengan email semuanya bisa selesai dalam hitungan menit.

Kalau dulu sebelum hadirnya era SMS, orang lebih suka menggunakan telepon untuk bertukar berita, namun toh itu masih terlalu mahal buat sebagian besar kalangan. Apalagi kalau yang harus di telepon ada diluar kota terlebih di belahan bumi lainnya. Akhirnya surat masih bisa mengisi celah itu untuk tetap eksis.

Tapi seiring kemajuan jaman, perlahan namun pasti suratpun terpinggirkan. Kalau orang seperti Prof. Sarlito yang tenar dan pasti banyak relasi saja sudah mulai jarang menerima surat, apa lagi kita-kita yang barangkali relasinya tak sebanyak beliau.

Artikel Kompas itu membuat saya jadi tercenung sejenak mengingat-ngingat kapan terakhir kali saya menerima surat tulisan tangan?
Surat cinta? Hahahah .... memang biasanya surat sejenis ini yang masih ditulis tangan, tapi bahkan dengan istri saya pun - saat jamannya kita pacaran - sama sekali tak pernah berkirim surat.

Mendadak saya jadi senyum-senyum sendiri setelah ingat beberapa hari lalu - tadinya saya lupa - bahwa ternyata saya baru saja menerima surat tulisan tangan. Aseli tulisan tangan diatas secarik karton bekas karung semen.
Pengirimnya? Seorang preman didekat rumah saya yang minta uang 'koordinasi renovasi' karena saya merenovasi rumah tanpa memakai tukang yang disediakannya.
Hahahaha ..........
Ternyata benar artikel Kompas itu, surat jaman sekarang sudah sama sekali tak ada nilai romantisnya.

Friday, September 17, 2004

It's turn to 33 now!



"Still a lot of things to do, fahrie"

Friday, September 10, 2004