Ganti Edjaan Lama

balik ke Edjaan Lama

Monday, January 31, 2005

JANGAN MENANGIS LAGI, ACEHKU! (3)

ADEGAN 1

Sepasang mata polos kanak-kanak, binarnya tak pudar oleh derita.
Tersenyum mendekati mobil yang kami tumpangi.
"Ferry Irawan" Jawabnya ketika saya menanyakan namanya.
Sekarang dia hidup di penampungan, tinggal berdua dengan kakak perempuannya.
Setelah gelombang itu membawa ayah, ibu dan adik bayinya kepelukan Sang Maha Tinggi.
Tak banyak perubahan ekspresi di wajah kurusnya ketika menuturkan tragedi itu.
Datar.
Kuat.
Terlalu kuat untuk seorang anak sembilan tahun.

Lalu saya jadi teringat betapa rapuhnya saya ketika Agustus lalu Bapak saya yang berpulang. Dan serta merta merasa malu.


ADEGAN 2

Duduk di warung itu, menikmati semangkuk Mie Aceh yang panas mengepul.
Melepas lelah sesaat sembari membolak balik halaman Serambi Aceh yang berisi deretan foto-foto orang hilang.

Kemudian foto sepasang anak kecil itu merampas perhatian saya.
Umur mereka baru tiga tahun.
Sebaya dengan Farrell, anak pertama saya.
Pasti sedang 'nakal-nakal'nya.
Tentu lagi lucu-lucunya
Nikmat terindah yang pernah dititipkan Toehan
Kita dekap erat tak mau lepas
Namun dalam hitungan menit lenyap dari pandangan.
Hilang tak tentu rimbanya.

Semakin dalam saya merenung terasa semakin berat beban itu.
Beban yang mesti ditanggung mereka yang kehilangan anaknya.

Setiap malam, ketika gelap itu menjelang, dimana kamu tidur, Nak?
Ketika hujan mengguyur tanah yang sekarat, dimana kamu berteduh, Nak?
Ketika dinginnya membuatmu menggigil, siapa yang akan memelukmu?
Juga ketika kamu menangis ketakutan dan kelaparan,
Siapa yang akan menenangkan dan memberimu makan?


Mendadak Mie Aceh yang lezat itu tak lagi terasa nikmat......

Wednesday, January 19, 2005

BENARKAH CINTA TAK SELALU HARUS MEMILIKI?

Duduk di depan komputer, menghabiskan hari dengan surfing internet.
Bosan sendirian.
Rasanya seperti kembali ke memori Ocean Baroness.

Hanya saja kali ini pemandangannya bukan lagi biru laut
Yang terhampar sejauh mata memandang.
Bukan pula riak gelombang yang membuat rig berayun perlahan

Sebagai gantinya kini adalah hamparan kebun teh luas menghijau
Jalan mendaki yang berkelok-kelok
Pipa panyang warna keperakan membentang melintasi perkebunan
Dan kabut yang terkadang turun membuat segalanya menjadi begitu putih
Begitu muram dan begitu dingin.

Mestinya ini bisa jadi liburan yang menyenangkan
Tidur pulas dibalik selimut tebal dengan heater yang diset medium
Nongkrong sambil ngobrol ngalor ngidul dengan teman-teman baru.
Menikmati secangkir kopi susu dan indomie hangat.
Mestinya ini bisa jadi surga

Tapi sepulang dari Aceh kemaren
Yang jadi seperti pesta reuni
Tempat berkumpul lagi dengan sobat-sobat lama
Yang kali ini datang dengan bendera beragam
Tapi tetap orang-orang yang sama
Orang-orang 'gila' yang lebih bahagia tidur dimana saja bisa merebahkan tubuhnya.
Pulas beralas sleeping bag dan berselimutkan mosquito repellent
Orang-orang yang merasa berarti kaloae bisa berbuat untuk orang lain.

Membuka mata dan hati saya kalau saya masih cinta dunia itu.
Itu habitat saya
Dunia bebas tanpa basa-basi
Tanpa batas absurd atasan-bawahan
Saya cinta semua itu.
Dan rasanya saya ingin memiliki dunia itu
Selamanya ada disitu
Tapi apa mungkin?

Benarkah cinta tak selalu harus memiliki?

Tuesday, January 18, 2005

JANGAN MENANGIS LAGI, ACEHKU! (2)

Rencana buka pos kesehatan selama lima hari di Pulau Nasi, akhirnya dibatalkan. Dengan hanya 500 jiwa tersisa. Mereka tidak kekurangan air bersih, persediaan makanan cukup(di kantor koramil tempat kita buka pos kesehatan masih ada sekitar 20-an karung beras), dan sebagian yang sakit berat sudah di evakuasi ke Banda Aceh atas inisiatif Danramil. Kami pun hanya membuka pos kesehatan selama satu hari, kemudian menitipkan obat-obatan pada 2 orang penduduk pulau yang kebetulan mahasiswi akademi perawat.

Teman-teman agak agak kecewa sebenarnya. Karena kita membawa persediaan yang cukup untuk 5 hari. Bahkan tadinya direncanakan untuk membuka pos kesehatan berlanjut. Tapi problem klasik di daerah bencana rupanya juga terjadi di Aceh. Bahkan lebih parah. Tidak ada informasi yang akurat tentang kondisi Aceh setelah Tsunami!.
Permintaan Satkorlak Pengendalian Bencana dan Pengungsi untuk mengirim kita ke Pulau Nasi ini misalnya. Sama sekali tidak didasari data yang akurat. Ketika diperintahkan berangkat, saya sebenarnya sudah ngotot untuk minta gambaran kasar kondisi disana. Tapi Satkorlak tidak punya data. Baru setelah tanya kiri kanan ke orang lain, kita bisa punya informasi tentang P. Nasi, itupun kondisi pra-bencana.
Akhirnya terjadilah yang ditakutkan. Kita nembak lalat pakai meriam!. Tim yang berangkat ke P. Nasi membawa 1 dokter bedah, 1 dokter Anak, 1 dokter Penyakit Dalam, 2 dokter umum, 2 mahasiswa FK (UI dan Unsyiah) serta 1 perawat, cuma untuk mengobati 60 orang yang sakit ringan, sebagian malah hanya datang minta vitamin!

Lebih aneh lagi, ketika kita memutuskan pulang, dengan pertimbangan tim ini terlalu mubasir untuk bertahan di P. Nasi sementara masih banyak daerah lain kekurangan tenaga, begitu sampai di Banda Aceh, orang yang mengirim kita, dengan bersungut-sungut mengeluh: "Waduh! saya bisa dimaki Panglima ini!"
Lha???????
Anda kesini untuk menyenangkan Panglima atau nolong korban Tsunami???
Satu lagi problem klasik manajemen bencana tuh, ada sebagian orang yang hanya memperhitungkan publisitas dan ABS! Perkara bantuannya sampai sasaran atau nggak soal belakang, yang penting dia bisa berkoar ke petinggi kalo sudah ngirim satu tim komplit ke Pulau Nasi!!!
Bullshit!



Kecewa dengan Disaster Management Support yang berantakan di Banda Aceh, saya kemudian memutuskan untuk tinggal di Banda Aceh dan membantu teman-teman mempersiapkan tim-tim yang akan berangkat supaya tragedi P. Nasi tidak terulang.

Kesimpulan kita sampai hari ke 16 pasca Tsunami, belum ada data akurat tentang pos-pos pengungsi, Incident Commander tidak berjalan, koordinasi kacau. Semestinya Satkorlak sebagai Incident Commander tahu persis dimana lokasi yang membutuhkan bantuan, sudah ada berapa tim yang kesana, masalah apa saja yang belum teratasi, tapi kenyataannya?

Pengalaman lucu lagi terjadi saat saya menemani relawan dari Korean Medical Association (KMA), karena gak dapat informasi yang jelas dari Satkorlak, kita berkeliling Banda untuk mencari pos yang belum atau tidak tertangani. Sampai di RS Malahayati, kelihatannya RS itu belum beroperasi, hanya ada satu spanduk LSM kesehatan - sebut saja LSM Blablabla - yang terpasang disana, karena tim Korea ini sudah siap bekerja akhirnya kita minta ijin aja sama LSM tersebut untuk bekerja sama mengoperasikan RS Malahayati.
Sama komandannya dijawab: "Boleh saja bergabung dengan kita, tapi dengan beberapa syarat; pertama RS ini akan beroperasi dengan nama RS. Malahayati-Blablabla, kedua: untuk kali ini tim Korea boleh bergabung, selanjutnya cukup kasih bantuan peralatan medis dan peralatan RS saja, seperti meja operasi, mesin anestesi, tempat tidur dan lain-lain, ketiga: tim Korea harus memutuskan kerja samanya dengan IDI dan bekerja dibawah bendera kita!"
Gila!
Ini orang datang ke Aceh untuk cari nama rupanya!
Kalau memang pengen ganti nama RS dengan nama LSMnya, tanggung mas, kenapa gak ke Meulaboh aja, kangkangi tuh seluruh Meulaboh dan ganti nama kotanya jadi kota Meulaboh-Blablabla!
Sengaja tidak saya pasang nama LSMnya disini, karena saya percaya gak semua anggotanya brengsek seperti si komandannya itu. Anggap saja ini penghargaan untuk mereka.

Tapi yang jelas karena penolakan itu, tim Korea batal masuk ke Malahayati dan sampai hari Selasa, 12 Januari, 2 hari kemudian, saat saya meninggalkan Banda Aceh, Malahayati belum juga beroperasi!.

Monday, January 17, 2005

JANGAN MENANGIS LAGI, ACEHKU!

Apa lagi yang bisa dituliskan tentang negeri indah yang kini poranda di terjang bencana ini?
Terlalu banyak duka di sini
Terlalo banyak air mata
Terlalu banyak mayat-mayat korban yang bergelimpangan
Terkapar membusuk di puing-puing runtuhan bangunan.
Terlalu banyak anak-anak yatim-piatu
Terlalu banyak!
Sementara terlampau sedikit yang bisa kita bikin untuk mereka!


Januari hari ke dua...
Pesawat Merpati yang disewa BUMN Peduli menerbangkan saya di atas langit Aceh yang gulita.
Tak banyak kerlip lampu dibawah sana.
Sungguh kontras dengan Jakarta yang 6 jam lalu kita tinggalkan
Negeri ini sekarat diterjang Tsunami.
Dan ketika pesawat menjejakkan rodanya di Bandara.
Tak ada aktifitas khas bandara. Yang biasanya memanjakan kita.
Bandara ini masih utuh saja sudah untung.

Saya dan ketiga teman pun bergegas memanggul ransel.
Mengurusi obat-obatan dan peralatan medis yang kita bawa. Tapi mesti tidur di apron bandara. Karena menurut teman yang lebih dulu masuk, jalur Blangbintang-Banda Aceh tak aman di malam hari.
Padahal waktu kita sampai saja sudah jam 12 tengah malam.
Malam pertama di Aceh pun dihabiskan dengan memandangi langit. Dalam pelukan hangat sleeping bag. Sambil berpikir apa yang bisa kita perbuat besok.

Esoknya, dalam perjalanan ke Banda Aceh, baru kita lihat betapa luluhlantaknya kota ini. Kuburan massal yang masih menebarkan bau bangkai di Lambaro. Tubuh-tubuh telanjang tak bernyawa di jalan-jalan dan sungai. Pante Pirak - bangunan pertama yang runtuh diguncang gempa. Masjid Raya yang dipenuhi sampah lumpur dan mayat. Rumah toko tiga lantai yang lantai satunya amblas ke tanah. Debu beterbangan bercampur dengan air mata haru yang mengalir tak tertahan.



Hasil musyawarah dengan teman-teman di RS. Kesdam, saya dan rombongan diminta ke Pulau Nasi, tak jauh dari Sabang. Perjalanan dengan perahu memakan waktu satu setengah jam dari Peunayong. Melewati Pasar Aceh yang terlihat seperti ground zero bekas ledakan bom. Ada dua perahu kayu yang hanyut dibawa gelombang hingga ke daerah pasar. Bangunan-bangunan runtuh, sebagian rata dengan tanah. Mayat-mayat lagi-lagi bertebaran. Sebagian sudah dalam body bag. Tapi masih menebarkan aroma khasnya.
Tentang mayat-mayat ini, bekas boss dan guru saya, Prof. Aryono Djuned Pusponegoro, ketika bersua di Kesdam punya komentar tersendiri:
"Gua udah kemana-mana, di hampir semua bencana di belahan dunia, tapi hanya disini gua liat begitu banyak mayat!"
Sampai di sungai Aceh, yang kita susuri, masih banyak tubuh-tubuh membusuk itu dijumpai.



Keluar ke laut, tak ada mayat lagi. Tapi kapal kayu kecil itu mulai menari dipermainkan ombak. Awalnya perlahan, makin ketengah makin besar. Ombak-ombak setinggi 1-1,5 meter bergantian menerpa.

Dulu, hampir setiap 2 minggu saya pasti melintas selat Makassar. Dari Rig ke Balikpapan atau sebaliknya. Tapi kini suasananya lain. Ombaknya lebih besar, tak ada life yacket dan satu-satunya benda yang bisa dipakai untuk mengapung hanyalah sebuah ban mobil yang terikat kuat di atap perahu. Satu ban itu saja, untuk sekita 30-an penumpang perahu.

Tapi awalnya saya tenang-tenang saja. Juga ketika perahu makin kuat bergoyang. Mungkin memang biasa begini. Itu saja yang terpikir. Tapi sewaktu beberapa penumpang warga pulau mulai menangis. Sebagian mulai syahadat. Baru sadar kalau ini bukan kondisi biasa. Syukurlah akhirnya kita selamat sampai di Pulau Nasi.

Pulau Nasi kecil, kelilingnya sekitar 25 kilometer. Dulu bekas daerah persembunyian GAM tapi sekarang sudah 'bersih'. Cerita Danramil setempat. Ada 5 Desa disana. Penduduknya sekitar 1500 jiwa. Setelah Tsunami, 2 desa habis. Sebagian penduduk sudah mengungsi ke Banda Aceh. Kini yang tersisa hanya sekitar 500 warga.
(bersambung)

foto-foto diambil dari www.plan-uk.org