Ganti Edjaan Lama

balik ke Edjaan Lama

Friday, October 23, 2015

Waktunya hampir sampai, Nak
Jangan takut
kita ditakdirkan lahir sebagai laki laki Makassar
Tak ada takut dalam kamus kita
Bersama kita akan selalu berdiri paling depan

Buang ragumu Nak
Tegaklah selalu
seperti karang yang kokoh menghadang terjangan ombak 
Tegak Nak
Karena sujudmu hanya untukNYA

Mengalirlah dengan wajar Anakku
Berani itu tidak melawan hukum alam
Berani itu pinisi kecil yang menari di tengah gelombang samudra 
Dibanting kanan kiri
Diangkat tinggi lantas dihempaskan badai
Berderak-derak kayunya
Namun tak pernah muncul sebersit pikiran pun untuk menepi ke pantai

Hidup ini ada yang atur
Tak perlu kau tangisi apa yang mungkin tak kau sukai
Karena Dia yang Maha Mengatur, juga Maha Bijaksana

Angkat tinggi-tinggi badik yang terhunus di tanganmu Nak
Itu api semangat yang menyala dalam jiwamu
Baranya berkilat di matamu   .
Paentengi siri'nu Nak
Tegakkan harga dirimu!
Sesungguhnya harga dirimu dinilai dari seberapa berani kau mengalir menantang hidup
Juga seberapa ikhlas kau berserah padaNYA





Tuesday, September 29, 2015

"Kalau dipikir pikir, surga itu ga enak ya" seorang teman mendadak mencetuskan pikirannya yang tidak biasa
di suatu siang yang biasa biasa saja

"Kenapa ga enak? Kan di sana apa apa tinggal minta langsung dapat"

"Justru itu, anggaplah kita pengen punya Ferrari, kita minta terus langsung dapat gitu? Senang dong.... 
Tapi tetangga lihat kita pake Ferrari, dia ikut minta juga... Dia pun langsung dapat... Lantas apa hebatnya Ferrari kita kalau gitu?"

😊

Diskusi nyeleneh itu masih membekas sampai sekarang, hampir 20 tahun setelahnya

Saya ingat hanya tersenyum saat itu. Ikut manggut manggut membenarkan pendapat teman itu

Sekarang baru kepikiran bahwa mungkin itulah bedanya

Saat kita masih suka membandingkan diri dengan orang lain.
Jika kita masih suka untuk terlihat seolah lebih baik daripada yang lainnya
Barangkali itu pertanda
Bahwa kita memang belum pantas menjadi penghuni surgaNYA

Mina

Apa yang ada dalam doamu, ya saudaraku?
Rasa malu atas tumpukan dosa-dosa mu kah yang membuat matamu basah?
Ataukah takutmu kalau-kalau waktumu telah kasip?

Ada jutaan jiwa menghampar bersamamu di terik Arafah
Mungkin mereka juga menyimpan malu yang sama
Bercampur dengan sesal yang mendera

Terbayangkah olehmu Padang Mashar?
Buasnya mentari takkan sanggup kau tahankan di sana.

Kemarin
Doa dan tangismu melayang jauh
Melewati papan-papan pembatas kuning bertuliskan 'Arafah ends here'

Kala langit Muzdalifah dipagut kelam malam
Sedu-sedanmu mereda 
Ada sebersit asa memantik dalam serpihan kalbumu
Bibir mu berbisik lirih
Ya Allah, matikan lah aku dalam khusnul khotimah
Peluk aku dalam samudra kasihmu yang tak berbatas
Bersihkan aku ya Rabb
Putih bersih seperti bayi yang baru lahir

..... Lalu Allah menjawab pintamu
Pintu pintu langit dibukaNYA bagimu
Hari ini
Di Mina

Jauh di sini
Sajadahku perlahan basah
Oleh rasa cemburu yang membelitku membayangkan senyummu yang mengembang 

Apa yang ada dalam doa mu, ya saudaraku?

Monday, September 28, 2015

Segores catatan tentang Makassar

Menelusuri jalan jalan di Makassar, 
memunguti serpihan kenangan tanah kelahiranku. 

Senin pagi menggeliat malas seolah enggan melepas selimut hangat akhir pekan. 
Tak ada rush layaknya kesibukan Jakarta yang nyaris tanpa hati itu. 
Disini - di Makassar- detak waktu seolah berjalan lebih lambat. 
Aku melangkah melewati kedai kopi di sisi hotel yang sesak oleh pekerja kantoran. 
Mereka pun terlihat santai bercengkrama satu sama lain. 
Relax! 
Stress free! 
Jauh beda dengan Jakartaku kini.

Tanpa terasa, nyaris 15 tahun berlalu 
sejak terakhir kali aku mengumpulkan semua yang bisa dibawa. 
Memulai pengembaraan ku, seorang lelaki kecil dengan mimpi besar,
Seorang dokter belia - fresh from oven - yang ingin melihat dunia.

Makassar- definitely not the place for me - to grow old and die. 
Demikian pikir ku saat itu.
Bagaikan Komander yang membakar kapalnya begitu berlabuh 
supaya tak ada opsi pulang 
rumah tua di daerah Cendrawasih itu berpindah tangan. 
Aku membakar kapalku!

15 tahun berlalu
Belasan kota, beribu kisah
Bangkok, KL, Spore, Kuala Belait, Bali,Jakarta, Banda Aceh, Balikpapan, Bekasi mengisi lembar hidupku mengais rejeki.
Seorang mojang Sunda kini mendampingi hari dan hatiku, 
tiga anak kecil yang lucu-lucu meramaikan hidupku.
Mereka segalanya bagiku sekarang

Ratusan baliho, belasan wajah seolah menyambut datangku.
Makassar tengah pusing memilih walikotanya
Segudang janji diumbar, 
selaksa mimpi diuntai bak serenade indah dari bibir bibir mereka.
Semuanya berlomba menjanjikan perubahan.

Dan Makassarpun bermetamorfosis 
Jalan jalan yang dulu lengang kini sesak 
Macet! 
Penyakit kota besar menghinggapi 
Menara menara beton berlomba menjangkau langit.
Meninggalkan mereka yang kalah, terkapar dalam lumpur dan jelaga kemiskinan. 
Kapitalisme merasuk sendi-sendi kotaku.

Namun ritme kehidupan yang mengalir tenang itu masih ada disini
Membuai....
Sekaligus mengusik benakku 
Mempertanyakan kembali pilihanku dulu

This is not a bad place anyway
....to grow old and die