Ganti Edjaan Lama

balik ke Edjaan Lama

Tuesday, November 16, 2004

KETIKA UJIAN RAMADHAN TIBA

Beberapa bulan silam, ketika chatting dengan seorang sahabat saya yang telah 5 tahun menetap bahkan beralih kewarganegaraan di negeri Belanda, kalimat ini sempat terucap.
"Saya senang karena disini situasi sangat kondusif, gak ada diskriminasi, Belanda adalah negeri yang sangat toleran menghargai perbedaan"
Ucapan itu dilontarkannya menyusul pertanyaan seberapa besar peluang bagi saya dan keluarga saya kalo mencoba peruntungan ke sana.
Dengan nada yang penuh semangat kolega saya menghujani negeri barunya itu dengan pujian.

Namun sekitar dua hari lalu, ketika kami kembali bertukar kabar melalui layar mesin cerdas komputer, nada optimis itu hilang ditelan kegalauannya.
Menyusul tewasnya Theo van Gogh, cucu dari maestro Belanda Vincent van Gogh, suasana sontak berubah.
Rentetan pembakaran Mesjid dan sekolah Islam laksana awan gelap yang memayungi situasi kondusif dan penuh toleransi seperti yang pernah digembar-gemborkan sahabat itu.

Sayang memang. Bahwa karena seorang Muslim berdarah Maroko-Belanda membunuh Theo van Gogh, serta merta semua umat Muslim di Belanda lantas dicap bersalah dan harus menerima akibatnya.

Sebagai manusia beradab saya mengutuk tindakan pembakaran itu, seperti juga saya mengutuk pembunuhan Theo van Gogh. Terlepas dari fakta bahwa Theo - dalam berbagai tulisan dan karyanya entah kenapa selalu menjadikan Islam sebagai sasaran - namun kekerasan apalagi pembunuhan tidak lantas menjadi jawabannya.
Kekerasan atas alasan apapun mestinya tidak mendapat tempat di muka bumi ini!

Hari ini hati saya menangis. Darah saya mendidih membaca berita pembakaran itu. Tapi ini tidak harus membuat saya menganggap semua Orang Belanda biadab.
Kedewasaan. Semangat berdamai. Dan kesediaan untuk membuka mata hati bahwa justru perbedaanlah yang membuat dunia ini lebih indah. Itu semua yang kita perlukan menanggapi kasus ini.

Semoga saudara-saudara kita di Belanda bisa berlapang hati. Semoga Ramadhan 30 hari penuh bisa mengajari kita untuk mampu mengendalikan hawa nafsu. Termasuk dendam dan amarah pastinya.
Dan semoga pihak-pihak yang membakar dibuka mata hatinya. Untuk melihat Islam secara lebih proporsional.

Amin.

Sunday, November 14, 2004

SEBUAH EPISODE EID UL-FITR

Dini hari sebelum berangkat ke tempat kerja, sepotong dialog di sebuah rumah sederhana di Balikpapan,

Bapak: "Ayo nak kumpul dulu, bapak mo ngasih ini"
(sembari membagikan duit ke anak-anaknya)
Anak: "Kenapa sih mesti begini Pak? Bapak gak usah bagi duit juga kita senang. Bapak mo pergi lagi ya?"
Bapak: (terdiam sesaat tanpa mampu berkata-kata)
Anak: "Kapan kita bisa kumpul di hari raya Pak? Bukan uang yang kita mau, tapi bapak ada disini bersama kami"
Bapak: (masih diam dengan mata yang berkaca-kaca)

(Hening memaku)

Bapak:"Ya sudah, ambil saja dulu ini, bapak sudah mo ketinggalan pesawat" (dengan suara serak menahan tangis)"Hati-hati ya di rumah"

Masih dengan mata yang basah bapak itu menuturkan kisahnya tadi saat saya duduk bersebelahan dengannya dalam pesawat carteran yang membawa kami mengangkasa melintasi Balikpapan-Tarakan.
"Ini Idul Fitri kesekian kalinya saya tak dirumah, kalau dulu kakaknya masih ada buat menemani dia, tapi sekarang kakaknya sudah kuliah di Jawa"

Satu keluhan klasik kuli minyak di rig lepas pantai.
Tapi tiap kali mendengarnya tetap saja ada yang berat menghimpit di dada
Kali ini pun saya hanya bisa menelan ludah.
Mencoba membasahi kerongkongan yang mendadak terasa seret.
Ikut tercenung dengan mata yang perlahan mulai ikut basah.

-------------------------------------------------------------

Buat yang ada di darat dan bisa berkumpul dengan sanak keluarga
Juga buat yang mesti berada nun di sana jauh dari rumah karena suatu sebab,
Dihari yang fitri ini
saya hanya bisa mengucapkan:

Selamat Hari Raya Idul Fitri
Taqabalallahu minna wa minkum


Semoga kita semua masih diberi kesempatan bertemu Ramadhan berikutnya

Wednesday, November 10, 2004

TEMASEK, HERE I COME!

Setelah terombang ambing ketidakpastian seminggu terakhir, titik terang keliatan mulai terbuka. Dua hari belakangan memang saya lagi gencar-gencarnya negosiasi dengan sebuah perusahaan offshore dari Singapore. Dan kemaren, alhamdulillah, tawaran untuk bergabung itu tiba jua.
Memang masih ada beberapa hal yang perlu klarifikasi, tapi secara umum saya puas dengan tawaran mereka yang jelas diatas rata-rata standar salary negeri kita. Meski untuk ukuran 'sono' jelas masih jauh dibawah. Anyway, this is my second overseas job offer. Dan kalo yang kemaren, peluang kerja di Emergency Room sebuah Rumah Sakit di Saudi Arabia itu saya tolak, kali ini bolehlah untuk dicoba. Toh pertengahan Desember saya resmi jadi penganggur :p


Kalo tiada aral melintang, mulai akhir Desember saya akan bergabung dengan mereka. Lingkungan kerja baru, orang baru, tugas baru, tantangan baru ....... aaahhh adrenalin saya rasanya mulai mengalir.
Temasek, here I come!

Monday, November 08, 2004

RESIGN

Mulai pertengahan Desember 2004 nanti, saya resmi mengundurkan diri dari tempat mencari nafkah selama ini. Tanpa terasa satu setengah tahun telah berlalu.
Satu setengah tahun yang menyenangkan. Belum lama memang. Masih sangat singkat malah! Dan rasanya masih asyik saja bekerja bareng kuli-kuli minyak yang sangat bersahabat itu. Tapi perbedaan prinsip antara saya dan pihak yang mengupah saya kelihatannya tidak bisa dihapus lagi. Walhasil, putusan mesti diambil. Dan saya memilih untuk mundur dari sini.

Ada beberapa hak-hak saya sebagai kuli yang - menurut saya - belum juga dipenuhi. Hak-hak yang -lagi-lagi menurut saya - harus diberikan. Namun meeting terakhir dengan atasan saya tidak memperlihatkan tanda-tanda yang menggembirakan. Padahal sudah cukup lama saya setia menunggu. Pun ketika tawaran untuk pindah ke on-shore di Jawa Barat yang nota bene lebih dekat ke rumah saya datang menggoda. Saya masih bertahan disini. Tak bergeming!

But a man has to do what a man has to do!
Meski berat, mungkin ini malah loose-loose solution, saya tetap merasa harus mempertahankan prinsip. Mungkin dengan mundurnya saya, para majikan saya bisa dapat kuli yang lebih bagus lagi dan tidak 'mbalelo' seperti saya. Namun tentunya harapan saya, semoga mereka bisa mengubah paradigmanya dan mulai melihat pekerja sebagai asset buat usaha mereka. Semoga dengan perubahan pola pandang itu, perlakuan mereka bisa lebih 'manusiawi' untuk semua teman kuli saya yang senasib.
Semoga!