Ganti Edjaan Lama

balik ke Edjaan Lama

Thursday, March 25, 2004

ADA IJAH DI SIMPANG BULAK KAPAL
Sebuah Renungan

Anak perempuan kurus item kurang lebih sembilan tahun, menyanyi sambil bergantung dipintu mikrolet. Suatu siang di Bulak Kapal.
Sungguh, suaranya yang cempreng dan fales sama sekali tak mampu mengusir teriknya siang itu.
Seorang ibu gemuk, penumpang mikrolet bahkan memberengut mendengar nyanyiannya. Kalo sudah begini bisa dipastikan dia tak usah berharap mendapat sekeping dua keping dari saku ibu itu
Semoga masih ada dari penumpang lain.

Ketika dia turun dipersimpangan jalan yang macet, saya bergegas menyusulnya. Sekejap beberapa keping logam cepek-an berpindah tangan.
"Terima Kasih, Om" Ucapnya singkat. Sesaat ada binar dimatanya. Namun lantas lenyap ditengah kesibukannya celingukan mencari mikrolet lain yang belum digelayuti pengamen cilik lainnya.

Sorenya, ketika saya kembali melalui persimpangan yang macet itu, saya melihatnya lagi. Kali ini tampak lebih santai. Mungkin karena lelah setelah seharian berjemur. Iseng saya datangi dia. Kembali beberapa keping koin berpindah tangan. Kembali "terima kasih, Om"nya terucap. Kembali ada binar dimata lelahnya. Tapi kali ini dia tak langsung lari mengejar mikrolet.

Dari situ kemudian saya tahu sedikit tentang dia. Namanya Ijah. Mungkin dari Khadijah.
Sejak umur lima tahun dia sudah ditinggal mati ibunya.
Dia hidup bersama bapaknya yang juga mencari nafkah dengan cara mengamen.
Sekolah?
Tak pernah terbersit dibenaknya yang lugu.
"Saya mesti cari uang buat bantu bapak" Jawabnya polos.
Ada keriangan kanak-kanak yang terlihat ketika dia menghitung uang hasil ngamennya hari itu.
Keriangan polos dari seorang anak, yang belum lagi sadar betapa masa kecil dan masa depannya telah direnggut nasib.

Beberapa puluh tahun silam, bapaknya yang ngamen disitu, mungkin.
Hari ini, Ijah yang ngamen disitu
Besok, boleh jadi anak Ijah yang akan ngamen disitu
Di simpang Bulak Kapal.
Bagi mereka seolah tak ada jalan keluar.
Seolah tak mungkin untuk mengubah nasib.
Karena dijaman sekarang ini, bahkan bermimpipun harus bayar.
Apalagi sekolah!

Tidak jauh dari situ, dijalan tol Cikampek menuju Jakarta, Davin kecil, sembilan tahun, menggelendot manja dipangkuan ibunya. Didalam kenyamanan BMW X5. Bapaknya, lawyer lulusan Harvard. Kakeknya Komisaris di PT. Anu. Bagi Davin, jalan hidupnya seolah telah tergambar. Jelas.
Besok dia tinggal pilih mau sekolah kemana. Uang bukan masalah.

Ijah dan Davin memang berpijak dibumi yang sama, menghirup udara yang sama, tapi mereka hidup disiklus nasib yang sama sekali berbeda. Yang akan terus membelit mereka. Selamanya(?).

HELICOPTER UNDERWATER ESCAPE TRAINING
Sebuah Makna Yang Tersisa Dari Sepenggal Kisah Nyata

"Semuanya berlangsung begitu cepat"
Tutur Pak Abdul Yadi, salah seorang western cook di rig kami. Mata tuanya terlihat berkaca-kaca ketika menyoba memutar ulang kenangan dahsyat yang dialaminya beberapa tahun silam itu.
"Perjalanan belum lagi lama. Kami belum terlalu jauh dari rig. Namun beberapa teman mulai tertidur. Mungkin karena lelah. Entah kenapa saat itu mata saya terasa sulit terpejam"

Wajahnya terlihat tegang ketika melanjutkan ceritanya.
"Tiba-tiba helikopter terasa berguncang. Pilot masih sempat memperingatkan kami bahwa pesawat akan jatuh. Karena itu saya dan seorang kawan lagi yang juga masih terjaga sempat memperbaiki posisi duduk kami. Mengambil posisi Brace. Sesaat sebelum heikopter itu hilang kontrol dan jatuh ke laut dari ketinggian sekitar 300 kaki (kurang lebih 100 meter)".

"Mestinya helikopter itu tidak tenggelam karena ada pelampung otomatis yang akan mengembang saat bodinya menyentuh air, tapi saat itu - entah kenapa - pelampung tidak mengembang. Pesawat terus masuk kedalam air. Terbalik! Beruntung saya tetap sadar waktu itu. Saya buka jendela dan keluar dari heli". Lanjutnya lagi.
"Saat keluar, heli sudah berada dikedalaman 6 meteran dibawah permukaan air. Satu teman yang terjaga tadi berhasil keluar juga tapi dengan kaki patah"

Pak Abdul Yadi memang termasuk orang yang beruntung. Sulit rasanya membayangkan anda jatuh dari ketinggian 100 meter, masuk kelaut sampai kedalaman 6 meter, masih harus berjuang lagi untuk bisa keluar dari perangkap maut heli yang perlahan namun pasti bergerak makin dalam. Kecuali anda Bruce Willis dan sedang membintangi Die Hard III with a vengeance. Tapi apa yang diperlihatkan nasib kepada kita lewat cerita Pak Yadi adalah gambaran jelas betapa determinasi dan kegigihan bisa mengubah yang tak mungkin menjadi mungkin!. Tanpa menafikan persiapan yang baik tentunya.

Dalam rangka bersiap-siap atau berjaga-jaga itulah, hari Selasa kemaren giliran kami yang diikutkan latihan menyelamatkan diri dari helikopter yang mendarat darurat atau tenggelam ke dalam air. HUET istilah kerennya. Helicopter Underwater Escape Training.

Bergiliran kami diminta masuk ke modul helikopter - yang sebenarnya lebih mirip bajaj Bajuri - kemudian dibalikkan kedalam kolam. Tiap orang kebagian jatah tiga kali. Sekali mesti bisa kabur lewat pintu darurat. Sekali lewat jendela. Dan yang terakhir, bebas milih lewat mana saja tapi tanpa aba-aba lebih dahulu. Baru duduk maniez tau-tau modulnya dibalik. Waduh!

Alhamdulillah saya bisa lolos dengan selamat tanpa kurang satu apapun dari tiga ujian itu. Betul-betul tanpa kurang, malah nambah setengah liter air kolam yang masuk kehidung, mulut dan telinga.

Diakhir latihan, ditangah napas yang terengah-engah, rasa sakit yang menusuk hidung, mata yang memerah, cerita Pak Yadi seolah terngiang kembali.
Hari ini saya duduk maniez di dalam modul yang terapung di kolam renang. Tanpa jatuh dari ketinggian, tanpa harus masuk kedalam laut. Tanpa harus berebut emergency exit dengan penumpang lainnya. Dan dikawal 3 penyelam. Rasanya masih saja begitu berat. Bagaimana kalo kecelakaan betulan?????

Jadi sadar betapa lemahnya saya sebagai manusia. Betapa kecilnya saya dibanding alam ini. Namun juga betapa keajaiban bisa terjadi kapan saja dengan ijin-Nya. Tanpa terasa ada sebutir air bening yang turun perlahan menyusuri pipi yang terbakar matahari.

Sekarang, baru saya pahami apa arti mata tua yang berkaca-kaca itu.

Monday, March 08, 2004

LAGI LAGI TENTANG KENANGAN

Agustus hari tiga belas
Sempurna sudah bahagia ini

Tatkala gelap mencumbui pantai
Hujan gerimis menemani
Amboi, akhirnja kuraih jua
Niat tulus merengkuhmu dalam dekapan
Kasih kita pun merekah indah
Seperti cinta dewa dewi

Ah, selaksa mimpi telah pula dirajut
Namun apa daya takdir datang merenggut asa
Yang lelah, kalah lantas terhempas
Warnai kelam jiwa jang merapuh
Ada yang masih tersimpan
Yang takkan sirna dari kenangan

Makassar, Maret 1998
untuk Asdiati Samanuddin dan sekeping hati yang terkojak

Saturday, March 06, 2004

All the man I am
You are the reason for me
You help me understand
I'll be your shelter from the rain that never ends
Girl , you've always got a friend in me

All the love we had
I should've know our love was older than the past
Throwing my life away on songs I never heard
Just the speaking of a single word
I made you die inside but you loved me

And don't believe the world
No, the world can't give us paradise
When you make your love to me
Till I just could not see the light
As long as I got you
As long as you got me
As long as we got you and I

I won't let you down
No better love will be there when you turn around
I'll be living for you till the ocean turns to sand
There will never be any man
Could love you just the way that I love you

So don't believe the world
No, the world can't give us paradise
In the eye within the storm
Just when I could not make it through the night
As long as I got you
As long as you got me
As long as we got you and I


Lagi kasmaran berat sama lagu kunonya Bee Gees ini.
Buat yang lupa, 'You and I' judulnya.
Tiap kali denger lagu ini selalu teringat masa kecil dulu.
Saat saya masih anak SD yang culun nan lugu.
Entah kenapa saya suka
Padahal waktu itu bahkan belum ngerti liriknya
Mungkin karena kakak saya keseringan nyetelnya
Bikin saya keseringan denger dan akhirnya jadi suka.

Sekian lama lagu ini hilang dari ingatan
Terbenam kedalam alam bawah sadar
Sampai suatu malam yang biasa-biasa aja
Ketika 5 orang dokter muda - istilah lainnya co-ass, mahasiswa kedokteran yang sedang magang di RS - memainkannya dengan diiringi gitar.
Di kamar co-ass yaga bangsal bedah Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo nun jauh di Makassar.
kenangan itu ditayang-ulangkan
Kali ini dalam bingkai yang berbeda.
Ada aroma persahabatan
Ada nuansa persaudaraan
Dari 5 anak manusia yang lelah mengejar mimpi.

Kini, 5 tahun setelahnya.
Kawan yang memainkan gitar itu kembali ke Wahidin
Melanjutkan mimpi menyadi tukang bius.
Si pengusul lagu hilang entah kemana.
Dua anak Hawa, salah satunya dinikahi seorang karyawan bank di Makassar
Konon sampai kini masih disana
Yang satunya juga entah dimana.
Satu orang lagi, yang malam itu menyanyi dengan fales-nya.
Sekarang merenung didepan komputer
Diketerpencilan sebuah anjungan minyak lepas pantai
In the middle of nowhere.
Masih merenung.

Tuesday, March 02, 2004

........

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah

(Chairil Anwar - Derai derai cemara 1949)