Ganti Edjaan Lama

balik ke Edjaan Lama

Wednesday, February 04, 2004

TENTANG SAYA
Sebuah keluh kesah

Dokter!
Kalo profesi itu terucap kira kira apa yang terbayang dikepala anda?
Sebuah mahluk berjas putih, santun, sedikit ja-im (jaga image), bau obat, ramah ditempat praktek tapi cuek beibih di rumah sakit, rapih dan ......... mmmmmh apa lagi ya? mapan? maybe some of them.
Nah kalo semua bayangan itu yang ada dikepala anda, saya jamin anda akan kaget saat ketemu saya.

Saya kerja ditempat yang sangat mengutamakan penampilan sebagai bagian dari layanan prima.
Rumah Sakit Pertamina Balikpapan - seperti halnya semua rumah sakit Pertamina lainnya - mewajibkan stafnya berbusana yang 'pantas'.
Dokter-dokter disini bukan hanya diminta ber-snell jas tapi kudu kumplit dengan dasi. Diajarin cara milih warna kemeja, celana, kaos kaki sampai sepatu, cocokin dengan dasi, mix and match, dan segala tetek bengek (catatan: bengek disini gak sama dengan asma :p) lainnya. Dana khusus bahkan dicurahkan untuk mengirim stafnya ikut beragam latihan kepribadian.
Untunglah saya kebagian tugas di rig, yang gak peduli saya pake baju apa - yang penting jangan telanjang aja!

Sumpah! Saya sangat menghargai mereka yang bisa dan suka berpenampilan begitu. Tapi kenapa ya sampai sekarang saya masih merasa seolah itu bukan bagian dari diri saya?

Sejak awal saya selesai dari medical school sampai sekarang, saya selalu memilih kerja dilapangan. Diantaranya karena alasan busana tadi. Saya suka berpakaian apa adanya. Tidak harus jaga image. Lepas. Bebas. Dan saya menemukan kebahagiaan disitu.
Saya menikmati saat saat berbaur dengan para pengungsi Timor-Timur di kamp-kamp di Atambua, atau dengan orang-orang Madura yang terusir di Pontianak. Saya bisa lelap tidur beralaskan koran dikantor depkes di Nunukan saat ribuan orang kita terdepak dari Malaysia, kala losmen menjadi barang mewah dan bisa mandi sekali sehari adalah anugerah. Terus terang saya malah orgasme disana!

Bagi saya ditempat dan saat seperti itulah mereka bisa menerima saya apa adanya. Seorang dokter - dalam pengertian sebenar-benarnya dokter - yang bertugas membantu mereka. Tanpa harus berdasi. Tanpa mesti berjas putih.
Mungkinkah saya memang ditakdirkan untuk harus selalu ada dilapangan?

Problemnya adalah waktu.
I'm getting older.
Kalo dulu saya bebas kemana aja, gak pulang berlama-lama. Sekarang ada dua mahluk mungil yang juga butuh perhatian saya. Tiga dengan mamanya.
Mereka memang masih terlalu kecil untuk bisa protes kenapa papanya jarang dirumah. Sementara istri saya - thank God! - adalah orang yang paling bisa memahami dan menerima saya dalam satu paket seutuhnya dengan segala kekurangan saya.
Tapi pandangan asing Farrell - anak saya yang tertua umurnya belom genap 2 tahun - dimenit-menit awal setiap saya pulang kerumah dari kerja, adalah sembilu yang tajam menyayat nurani saya.
Tangis kerasnya - pengen ikut - tiap kali saya berangkat dari rumah untuk balik ke rig - meninggalkannya berlama lama lagi - membuat langkah demi langkah menjadi begitu berat dan tanpa arah.

Haruskah saya mencoba untuk mengubah semua kebiasaan saya? membuang salah satu sumber kebahagiaan saya?
Mengumpulkan semua jins belel, celana kargo, kaos oblong, sepatu bot kedalam sebuah kotak kardus dan menyimpannya digudang untuk berganti menjadi hem licin anti wrinkle tersetrika rapi, dasi sutra, snell jas, celana wol, sepatu pantovel hitam berkilat dengan kaos kaki berwarna senada. Mulai jaga image dan berubah menjadi stereotipi dokter lazimnya untuk bekerja dirumah sakit?
Ahh ........
Memikirkanya saja kepala saya mulai nyut-nyutan :(

No comments: