Harian Kompas dalam rubrik kesehatan edisi 14 Oktober hari ini menulis tentang layanan kesehatan dinegeri ini.
Menanti layanan dengan hati. Begitu tajuk yang diberikan untuk artikel yang sangat menarik itu. Ini keluhan kesekian yang pernah saya baca tentang buruknya mutu layanan kesehatan di republik kita tercinta. Beberapa hari lalu, harian berbahasa Inggris The Jakarta Post memuat daftar kasus yang disangka malpraktek. Hampir semua terjadi di Jakarta.
Meninggalkan tanya besar dibenak saya. Begitu burukkah wajah profesional medis kita?
Sejak awal saya menapakkan kaki di kampus Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, 14 tahun silam, satu doktrin yang saya terima tentang profesi ini adalah bahwa profesi dokter adalah profesi yang mulia. Keagungan profesi begitu sering didengungkan. Hubungan dokter dengan pasien bukan semata hubungan jual beli. Bukan semata hubungan pemberi jasa dengan pemakai jasa. Lebih dari itu, katanya. Paradigma itulah yang sampai kini masih dipegang teguh oleh sebagian besar sejawat-sejawat dokter saya. Meski bertentangan dengan anggapan para pakar marketing yang meyakini bahwa pada dasarnya kita semua adalah penjual.
Berangkat dari doktrin keagungan profesi tadi, dalam kurikulum fakultas kedokteran, ditahun kedua, anda akan belajar bagaimana sistem yang bekerja pada tubuh manusia normal. Menginjak tahun ketiga, anda mulai diajari perubahan-perubahan yang akan terjadi kalau anda sakit. Dan kemudian ditahun keempat ditambah dua tahun magang dirumah sakit sebagai dokter muda, anda akan mulai belajar bagaimana mengobati pasien.
Lantas bagaimana dengan pelajaran etika? O jangan kuatir, ditahun ke empat ada 2 kredit mata kuliah etika kedokteran, mengenai hukum juga disinggung sedikit disitu. Pelajaran etika selanjutnya adalah apa yang anda pelajari sambil melihat langsung contohnya saat magang di rumah sakit.
Kurikulum ini diyakini cukup untuk membentuk dokter Indonesia. Dokter yang kini - seiring kemajuan jaman - mulai sering mendapat kritikan soal mutu dan polah tingkahnya.
H Misbach Yusa Biran, ayah almarhumah Sukma Ayu, dalam sebuah tayangan infotainment, mengaku sedih karena tak pernah menerima senyum dari para dokter selama hampir enam bulan anaknya dirawat di rumah sakit.
Meski saya tak terlalu yakin seratus persen dengan kebenaran pernyataan itu, tapi merujuk kembali ke kurikulum pendidikan dokter, bagian mana dari kurikulum yang mengatur dokter harus senyum pada keluarga pasien?
Atau bagian mana yang mengajarkan bagaimana dokter seharusnya bersikap pada pasien? diluar sikap profesional tentunya.
Sedih, tapi kenyataannya saya mesti jujur menjawab: TIDAK ADA!
Paradigma yang dengan angkuhnya menyebut hubungan dokter-pasien bukan hubungan jual beli telah mencegah masuknya konsep-konsep marketing kedalam kurikulum pendidikan dokter kita. Kita tidak lagi sadar bahwa sekedar senyum dan beramah-ramah dengan pasien dan keluarganya merupakan suatu
value-added services - meminjam istilah Hermawan Kartajaya - yang akan membuat sipasien lebih nyaman dalam memanfaatkan jasa kita.
Padahal hubungan yang tidak nyaman membuat pasien sungkan bertanya kalau ingin memperoleh informasi medis mengenai kondisinya sehingga kerja-sama dokter-pasien dalam menentukan arah pengobatan - yang menjadi konsep kedokteran modern - sama sekali tidak berjalan.
Seorang ibu yang pernah bertemu dengan saya dalam satu perjalanan menuturkan bagaimana dokternya marah ketika ia menyebutkan bahwa dirinya sakit cacar. "Ibu jangan sok tau!" bentak dokter itu "kalau sudah tau kenapa datang kesini!"
Bisa jadi itu trik si dokter yang takut kalau pasiennya banyak bertanya.
Padahal memilih menjadi dokter - ujar dosen saya dulu - berarti harus siap untuk belajar seumur hidup. Siap untuk selalu menjelaskan pada pasien dan keluarganya bagaimana kondisinya, mendiskusikan bagaimana strategi pengobatannya, membantu pasien mengambil keputusan karena hak itu ada ditangan pasien. tentunya dengan dokter memberikan informasi yang sejelas-jelasnya tentang keuntungan dan risiko setiap tindakan yang dipilih.
Karena begitulah prosedur seharusnya.
Suatu prosedur yang sayangnya langka dinegeri ini.
Menteri Kesehatan Ahmad Suyudi mengungkapkan total pengeluaran untuk biaya berobat ke luar negeri orang Indonesia setiap tahun mencapai 600 juta dollar AS.
Salah satu alasan kenapa mereka memilih berobat keluar pastinya adalah layanan kesehatan yang lebih baik.
Hermawan Kartajaya, pernah menulis tentang seorang koleganya yang didiagnosis Diabetes di Indonesia. Oleh dokternya disebutkan bahwa penyakit ini tidak akan sembuh, seumur hidup dia akan tergantung pada obat dan dietnya harus diatur.
Ketika memeriksakan dirinya ke Singapore, dokter Singapore juga menyatakan dia terkena Diabetes. Tapi bedanya si dokter sambil tertawa bilang "OK, you got Diabetes, so what? Kena diabetes bukan berarti hidup berhenti sampai disini. Yang perlu dilakukannya hanya menjaga berat badannya, memeriksakan dirinya teratur, mengatur dietnya, dan tidak berhenti sampai di situ saja, si dokter mengatur agar sang pasien berkonsultasi dengan ahli gizi yang sudah menyiapkan daftar menu sehari-hari, lengkap dengan jumlah kalori setiap jenis masakan bahkan untuk makanan khas Indonesia.
Bayangkan begitu hebatnya kesadaran untuk memberikan value-added services disana.
Namun melulu menyalahkan dokter kita sebagai biang keladi buruknya layanan kesehatan tentunya tidak menyelesaikan masalah. Survei Kesehatan Rumah Tangga tahun 2002 memperlihatkan bahwa ratio dokter : pasien kita adalah yang terendah dari 8 negara Asia Tenggara. 16 dokter untuk 100.000 penduduk. Jangan heran kalau dokter harus kerja rodi. Belum lagi dengan penghasilan dokter yang begitu rendah.
Pengalaman saya sendiri di tahun-tahun awal menjadi dokter, saya pernah bekerja di klinik 24 jam dengan membawa pulang 15 ribu rupiah sebagai hasil bekerja selama 24 jam.
Untuk dokter spesialis pun tidak selamanya bagus. Padahal biaya untuk sekolah spesialis amat sangat menguras isi kocek. Untuk masuk kebagian kebidanan dan kendungan, contohnya, harus rela merogoh 150 juta. Itupun baru uang pangkal.
Jangan heran kalau terkadang seorang dokter spesialis terpaksa bekerja dari satu rumah sakit ke rumah sakit lain untuk kejar 'setoran'. Kalau sudah begitu jangan harap dia bisa mencurahkan perhatian sepenuhnya terhadap keluhan pasiennya.
Semuanya memang berputar seperti lingkaran setan. Perlu kerja sama banyak pihak untuk membenahinya.